Beberapa hari ini, otak saya terasa stuck ketika diajak berpikir untuk membuat resensi buku ini, padahal saya sudah janji akan membuatnya. Setelah membuat video testimoni Obin, yang saya lampirkan pada link di akhir tulisan.
5 jam yang lalu, akhirnya saya putuskan untuk ganti fokus dulu, pay attention—beri perhatian penuh–pada aktifitas lain ini, yang tertunda akibat menunggu antrian pengerjaan, setelah resensi ini selesai.
AHA! rupanya ini metode baru yang bisa diterapkan kepada otak saya. 2x saya mencoba cara ini dan berhasil. (mungkin teman-teman yang sempat mengalami stuck dalam berpikir, bisa mencoba cara ini hehe.. )
At the end, saya pikir.. sepertinya tidak harus membuat resensi, karena resensi sudah terwakili oleh video Obin. saya cukup cerita aja..
Sepengalaman pengamatan saya…
Buku ini enak untuk disimak, karena alur ceritanya mengalir.
Nyaman ditopang oleh tangan, karena tebal tapi ringan.
Warna kertasnya juga ramah di mata.
Saat membacanya, beberapa kali saya dibuat kaget, karena menemukan nama-nama tokoh yang ada dalam Novel ini:
• Om Sabrang
• Pak Manu
• Kak Rampak
• Bodronoyo
Bagi orang maiyah smester lanjut, nama-nama ini cukup familiar di telinga.
Setelah selesai membacanya, saya langsung japri Mba Susi (Sang Penulis)
Saya: “Mba, aku rasa, Anya ni tiap bulan ikut maiyahan deh mba.. soalnya tiap ketemu masalah, solusinya selalu cara-cara Maiyah”.
Mba Susi meresponnya dengan tertawa ngakak: “Hahahahahahahahaha”
Lalu saya lanjut komentar: “Untung nggak ada puisi rusak-rusakannya Pak Mustafa W. Hasyim Mba..”
Kata Mba Susi: “Aaah… jangan ngasih ide..”
Haha, itulah asiknya bercanda dengan penulis, setiap sosok antik yang ditemui, potensial untuk menjadi tokoh dalam cerita.
Anya’s Friends ini karya Mba Susi (Indriyani Susilaningdyah). Saya mengenal beliau sejak masih kuliah dulu, sekitar tahun 2005.
Kami sering Maiyahan bareng di Kenduri Cinta (KC) Taman Ismail Marzuki (TIM). Biasanya saat Bubaran Maiyah jam 3 pagi, saya jalan kaki dari Cikini ke Kramat, untuk menunggu Bis Mayasari 905 yang menuju ke Rawamangun.
Ketika jalan kaki itu, tak sedikit jamaah yang menawarkan tumpangan dengan motor atau mobil mereka. Pernah satu waktu saya ikut dibonceng (Alm) Mbah Surip dengan motornya, sampai ke Salemba.
Di Rawamangun, Saya tinggal di sekretariat redaksi pers kampus. Selain menghemat biaya kos, juga agar lebih banyak waktu untuk mentranskrip hasil wawancara dan menulis berita yang akan diterbitkan dalam Tabloid Transformasi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Kadang, saat keesokan harinya tidak ada kegiatan, beberapa kali saya ikut Mba Susi pulang ke kosannya yang seperti kamar Hotel, di kawasan Bintaro Jakarta Selatan. Maklum saat itu Mba Susi bekerja perusahaan makanan ternama dan beliau sudah punya posisi di perusahaan itu.
Namun setelah Mba Susi tinggal di India, kami sudah tidak bertemu lagi di KC. Tetapi kami sadar, hati kami saling terkait karena Maiyah. Sehingga setiap ada hal-hal yang terjadi dengan Mbah Nun, kami saling support menguatkan.
Setiap ada Maiyahan di caknun.com, kami pun menonton di tempat masing-masing dan mengomentari setelahnya diruangan yang itu hanya ada kami berdua, alias chat whatsap hahahahaha..
Beberapa Tahun kebelakang, Mba Susi kembali ke Solo dan memulai karier kepenulisannya. Saya baru tahu kalau ternyata Mba Susi adalah mantan penulis cerita di Majalah Bobo dulu. Pantas tulisannya bagus-bagus dan enak dibaca.
Buku ini adalah salah satu karyanya, yang resensinya seperti yang Obin ceritakan.
Meskipun ini kisah anak SD, tapi jika dibaca oleh Ayah, Bunda, Om, Tente, Kakak, akan tetap relevan, karena banyak peran yang kita bisa lihat disana dan pelajari cara mereka dalam merespon masalah.
Video resensi Obin: