Berjalan bersama sahabat mencari kebaikan.

Category: panduan (Page 1 of 2)

Cacat Logika: Red Herring. Kejatuhan Seorang Presiden

Red Herring. Kejatuhan Seorang Presiden. AI generated image. Credit: Craiyon.com

Red Herring. Kejatuhan Seorang Presiden. AI generated image. Credit: Craiyon.com

Red Herring muncul sebagai taktik licik dan menyesatkan yang mengalihkan perhatian dari isu utama yang ada. Berasal dari praktik penggunaan ikan yang berbau menyengat untuk menyesatkan anjing pelacak melalui bau. Cacat logika Red Herring telah meninggalkan jejak dalam sejarah manusia dengan membawa individu, masyarakat, dan bahkan negara ke jalur yang kelam.

Kekeliruan Red Herring (Ikan Herring Merah) terjadi ketika seseorang mengemukakan informasi yang tidak relevan atau argumen yang mengganggu untuk mengalihkan perhatian dari topik utama diskusi. Pengalihan ini sering kali dilakukan secara halus dan strategis, sehingga menciptakan tabir asap yang dapat menyesatkan dan membingungkan penonton.

Contoh Kekeliruan Logika Red Herring dalam Sejarah Manusia:

Skandal Watergate dan “Smoking Gun”.

Isu Utama: Skandal Watergate yang berujung pada pengunduran diri Presiden Richard Nixon.
Red Herring: Dalam upaya untuk mengalihkan perhatian, pemerintahan Nixon terkenal berusaha meremehkan keseriusan skandal tersebut dengan berfokus pada hal-hal lain, seperti rekaman “Smoking Gun” yang terkenal itu. Dengan mengubah narasinya, mereka berharap dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu inti yang menjadi inti skandal tersebut. Di saat yang sama, Nixon juga mengalihkan perhatian publik dari kasus yag menyeretnya menjadi kasus keuangan negara.

Cerita Nixon dan Upayanya Mengalihkan Perhatian Publik

Continue reading

Cacat Logika: Non Sequitur. Jaka Sembung Bawa Golok.

Non Sequitur. Jaka Sembung Bawa Golok. Credit: DeepAI.org

Non Sequitur. Jaka Sembung Bawa Golok. Credit: DeepAI.org

Non sequitur adalah istilah Latin yang diterjemahkan menjadi “tidak mengikuti”. Dalam logika dan retorika, non sequitur adalah kekeliruan yang kesimpulannya tidak mengikuti premis atau bukti yang diberikan secara logis. Pada dasarnya, ini adalah pernyataan atau argumen yang tidak memiliki hubungan atau relevansi yang jelas dengan pernyataan atau argumen sebelumnya.

Istilah yang paling terkenal di Indonesia adalah “Jaka Sembung Bawa Golok, Nggak Nyambung, Goblok!”

Berikut beberapa contoh non sequitur dalam kehidupan sehari-hari:

Premis: “Saya mendengar bahwa belajar dengan musik klasik sebagai latar belakang dapat meningkatkan fokus dan produktivitas.”
Non sequitur: “Oleh karena itu, makan lebih banyak sayuran adalah kunci untuk mendapatkan nilai bagus dalam ujian.”

Dalam contoh ini, kesimpulan tentang makan lebih banyak sayur tidak secara logis mengikuti premis tentang belajar dengan musik klasik. Ada kekurangan hubungan antara kedua pernyataan tersebut.

Contoh lain:

Continue reading

Cacat Logika: Hasty Generalization. Kasus Sentimen Anti-Muslim

Hasty Generalization. Anti-Muslim. Credit: DeepAI.org

Hasty Generalization. Anti-Muslim. Credit: DeepAI.org

Hasty Generalization adalah cacat logika dimana membangung generalisasi secara tergesa-gesa. Kekeliruan ini merupakan jebakan umum yang dapat mengarah pada kesimpulan yang salah dan keyakinan yang salah arah. Kekeliruan ini terjadi ketika seseorang menarik kesimpulan berdasarkan bukti yang tidak cukup atau tidak representatif.

Mengapa Orang Menggunakan Generalisasi Tergesa-gesa?

  1. Bias Kognitif.
    Generalisasi yang tergesa-gesa sering kali muncul dari bias kognitif, seperti kecenderungan manusia untuk mengandalkan informasi yang tersedia atau bukti anekdot (meme). Seseorang sangat mungkin dengan tergesa-gesa menggeneralisasi berdasarkan sejumlah pengalaman pribadi, mengabaikan konteks yang lebih luas.
  2. Bias Konfirmasi.
    Orang secara alami mencari informasi yang menegaskan keyakinan mereka saat ini. Generalisasi yang tergesa-gesa dapat terjadi ketika individu dengan tergesa-gesa menerima informasi yang sejalan dengan prasangka mereka tanpa mempertimbangkan bukti yang lebih beragam.
  3. Penalaran Emosional.
    Emosi dapat mengaburkan penilaian, menyebabkan individu membuat generalisasi berdasarkan perasaan dan bukan analisis rasional. Penalaran emosional ini dapat mempersingkat proses berpikir kritis.
  4. Informasi Terbatas.
    Dalam beberapa kasus, individu mungkin kekurangan akses terhadap data atau informasi yang komprehensif, sehingga menyebabkan mereka mengambil kesimpulan yang terlalu dini dan bersifat umum berdasarkan kumpulan data yang terbatas.

Contoh Sejarah Generalisasi yang Tergesa-gesa:

  1. Pembunuhan Penyihir Salem (1692).
    Pengadilan Penyihir Salem memberikan contoh sejarah yang jelas tentang generalisasi yang tergesa-gesa. Pengadilan penyihir Salem adalah serangkaian pemeriksaan dan penuntutan terhadap orang-orang yang dituduh melakukan sihir di masa kolonial Massachusetts antara Februari 1692 dan Mei 1693. Lebih dari 200 orang dituduh. Tiga puluh orang dinyatakan bersalah, 19 di antaranya dieksekusi dengan cara digantung (14 perempuan dan lima laki-laki). Seorang pria lainnya, Giles Corey, meninggal di bawah penyiksaan setelah menolak mengajukan pembelaan, dan setidaknya lima orang tewas di penjara.
  2. McCarthyisme (1950-an).
    Selama Red Scare di Amerika Serikat, Senator Joseph McCarthy dan yang lainnya melontarkan tuduhan terhadap komunis tanpa bukti yang cukup. Hal ini menyebabkan masuknya individu-individu di Hollywood, akademisi, dan pemerintahan ke dalam daftar hitam berdasarkan generalisasi yang terburu-buru tentang afiliasi politik mereka. Dari tahun 1951 hingga 1955, FBI menjalankan “Program Tanggung Jawab”. Program rahasia yang mendistribusikan dokumen anonim dengan bukti dari file FBI tentang afiliasi komunis di pihak guru, pengacara, dan lainnya. Banyak orang yang dituduh dalam “List Komunis” ini dipecat tanpa proses lebih lanjut
  3. Stereotip dan Profil Rasial.
    Sepanjang sejarah, berbagai masyarakat telah dilanda generalisasi yang terburu-buru berdasarkan ras. Stereotip dan profil ras adalah contoh utama ketika individu membuat asumsi luas tentang seluruh kelompok etnis atau ras berdasarkan tindakan beberapa orang. Hal ini telah menyebabkan diskriminasi, ketidakadilan sistemik, dan berlanjutnya bias yang merugikan.
  4. Sentimen Anti-Muslim Pasca-9/11.
    Setelah serangan teroris pada 11 September 2001, terjadi peningkatan sentimen anti-Muslim dan generalisasi yang tergesa-gesa mengenai individu yang menganut Islam. Banyak umat Islam yang tidak bersalah menghadapi diskriminasi dan permusuhan karena keyakinan keliru bahwa semua umat Islam ikut bertanggung jawab atas tindakan segelintir ekstremis. Persyaratan “Pendaftaran Khusus” yang diumumkan pada tahun 2002 mengharuskan semua laki-laki dari daftar negara-negara Arab dan Muslim melapor kepada pemerintah US untuk mendaftar dan diambil sidik jarinya. Pemerintahan Obama menghentikan program ini pada Mei 2011. Program ini sama sekali tidak menghasilkan satu pun hukuman terkait terorisme meskipun puluhan ribu orang terpaksa mendaftar. Pada tahun 2017, Trump menandatangani Perintah Eksekutif 13769, yang melarang warga negara dari tujuh negara mayoritas Muslim mengunjungi Amerika selama 90 hari, melarang masuknya semua pengungsi Suriah ke Amerika tanpa batas waktu, dan memblokir masuknya semua pengungsi lainnya selama 120 hari. Presiden Joe Biden membatalkan kebijakan tersebut pada Hari Pelantikannya.
  5. Keraguan Terhadap Vaksin.
    Dalam konteks sejarah yang berbeda, generalisasi yang tergesa-gesa telah memicu keraguan terhadap vaksin. Informasi yang salah atau kejadian buruk yang jarang terjadi terkait dengan vaksin telah digeneralisasikan secara tergesa-gesa untuk menimbulkan keraguan terhadap keamanan seluruh program vaksinasi, sehingga berkontribusi terhadap berjangkitnya penyakit yang dapat dicegah. Pakar kesehatan dan kedokteran menggambarkan vaksinasi sebagai salah satu dari sepuluh pencapaian kesehatan masyarakat di abad ke-20. Namun, penolakan terhadap vaksinasi sudah ada sejak vaksinasi itu sendiri. Kritik terhadap vaksinasi telah mengambil berbagai posisi, termasuk penolakan terhadap vaksin cacar di Inggris dan Amerika Serikat pada pertengahan hingga akhir tahun 1800-an dengann terbentuknya liga anti-vaksinasi. Ada juga kontroversi vaksinasi yang lebih baru, seperti seputar keamanan dan kemanjuran imunisasi difteri, tetanus, dan pertusis (DTP), vaksin campak, gondok, dan rubella (MMR), dan penggunaan bahan pengawet yang mengandung merkuri yang disebut thimerosal.

Kesimpulan:

Kekeliruan Generalisasi yang Tergesa-gesa adalah tantangan yang terus-menerus dalam penalaran manusia, yang mengarah pada keyakinan yang salah, praktik diskriminatif, dan kesimpulan yang tidak adil. Mengenali faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kekeliruan ini, seperti bias kognitif dan penalaran emosional, sangat penting untuk menumbuhkan masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana. Dengan memeriksa contoh-contoh sejarah, kita dapat menghargai konsekuensi dari generalisasi yang terburu-buru dan berupaya mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas yang membentuk dunia kita. Menekankan keterampilan berpikir kritis dan pendekatan berbasis bukti sangat penting untuk mengurangi dampak kesalahan ini terhadap keyakinan individu dan sikap masyarakat.

 

* CACAT LOGIKA ADALAH SERI PANDUAN BAGAIMANA MELAKUKAN IDENTIFIKASI SERANGAN PADA DIRI SEHARI-HARI. SERI PANDUAN INI DIKELUARKAN AGAR KITA SEMUA DAPAT MEMAHAMI SUMBER SERANGAN, BAGAIMANA CARA MEMPERTAHANKAN DIRI DAN MENGHINDARI PEMAKAIAN CACAT LOGIKA DALAM SEHARI-HARI AGAR LEBIH KRITIS DALAM BERPIKIR.

Cacat Logika: Straw Man si Manusia Jerami. Sejarah Cacat Berujung Nyawa.

Straw Man si Manusia Jerami. Sejarah Cacat Berujung Nyawa. Credit: DeepAI.org

Straw Man si Manusia Jerami. Sejarah Cacat Berujung Nyawa. Credit: DeepAI.org

Dalam ranah perdebatan dan wacana, cacat logika Straw Man (manusia jerami atau lebih dikenal sebagai orang-orangan sawah di Indonesia) merupakan taktik licik yang digunakan oleh individu untuk menggambarkan posisi lawan agar terlihat salah.

Kekeliruan logika ini melibatkan cara membesar-besarkan argumen agar lebih mudah diserang, mengalihkan perhatian dari permasalahan sebenarnya yang ada.

Memahami asal usul, motivasi, dan strategi di balik kekeliruan Manusia Jerami (Straw Man Fallacy) sangat penting bagi siapa pun yang terlibat dalam wacana yang bijaksana.

Konteks Sejarah:

Asal usul Manusia Jerami kemungkinan besar berasal dari praktik penggunaan orang-orangan sawah yang terbuat dari jerami untuk mengalihkan perhatian burung, sehingga menciptakan sasaran yang salah. Manusia Jerami atau orang-orangan sawah dibuat agar burung takut mengambil padi di sawah. Sepanjang sejarah, tokoh-tokoh berpengaruh telah menggunakan kekeliruan ini untuk memanipulasi opini publik atau mendiskreditkan musuh.

Sepanjang sejarah manusia, kekeliruan Manusia Jerami telah digunakan dalam berbagai konteks, seringkali untuk tujuan politik, ideologi, atau propaganda. Berikut adalah beberapa contoh sejarah:

Continue reading

Cacat Logika: Argument From Ignorance. Kasus Rumah Berhantu.

Argument From Ignorance. Rumah berhantu.

Argument From Ignorance. Rumah berhantu. Credit: DeepAI.org

Argument from ignorance (dalam bahasa Indonesia yaitu “argumen dari ketidaktahuan”) adalah pernyataan bahwa suatu klaim benar atau salah karena kurangnya bukti yang menyatakan sebaliknya. Penutur beranggapan bahwa pendiriannya benar karena belum atau tidak dapat dibuktikan salahnya, atau pendirian lawannya salah karena belum atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Dalam alur pemikiran manusia yang rumit, argumen dari ketidaktahuan muncul sebagai sebuah benang merah yang halus namun kuat, mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari dengan cara yang mungkin tidak selalu kita sadari. Artikel ini bertujuan untuk mengungkap kompleksitas dari kekeliruan logika ini, menyoroti hubungan, mengeksplorasi konsekuensi dari cacat logika bernama ‘argumen dari ketidaktahuan’.

Dari hal yang biasa hingga yang mendalam, kehidupan kita sehari-hari penuh dengan contoh-contoh di mana argumen dari ketidaktahuan menyusup secara halus. Jika tidak hati-hati maka kita dapat menjadi manusia yang seringkali membangun skenario dimana asumsi, yang lahir dari kurangnya bukti nyata, membentuk persepsi kita dan mempengaruhi pengambilan keputusan.

Contoh:

Takhayul dan Cerita Rakyat.
Takhayul sering kali berakar pada argumen ketidaktahuan. Entah itu menghindari kucing berbulu hitam, takut keluar malam pada hari Jumat tanggal 13, pakai baju berwarna hijau di Pantai Selatan dan lainnya. Keyakinan ini sering kali didasarkan pada cerita rakyat yang beredar lama. Namun karena tidak adanya bukti dan bukan dari hasil investigasi rasional, maka mampu dikategorikan sebagai bagian dari ‘argumen dari ketidaktahuan’.

Continue reading

« Older posts

© 2024 Anglurabisatya