Tadi malam saya berbicara dengan seorang gadis muda berusia 24 tahun. Ia baru tiba di Eropa. Belum lama, baru beberapa minggu. Katanya, ikut pacar. Sayang sekali, baru 3 minggu pacaran, putus. Si pacar, pria muda dari Pantura, ngajakin tidur terus. Ia sungkan. Belum nikah kan kita, jawabnya ke sang pacar dengan nada risih.

Akhirnya mereka putus.

Si gadis muda tidak punya visa kerja. Si pacar, ijin tinggalnya bahkan sudah beberapa tahun kadaluarsa.

“Jadi saya harus gimana, Om?”

Ia memanggil saya dengan sebutan ‘Om’. Bisa jadi ia anggap saya paman. Bisa jadi, dianggap tua. Bisa jadi juga saya memang berwajah om-om untuk usia semudanya. Tapi semua itu tidak penting. Yang penting kan, di luar musim dingin -3 Celcius menggigit kulit. Ia tidak punya lagi tempat tinggal. Tidak punya pekerjaan. Uang persediaan sudah menipis dan hampir habis.

Saya umumnya penuh senyum namun malam itu juga tidak bisa banyak berkata. Hanya bisa bertanya, “Lalu kamu maunya sekarang apa?”

“Saya mau tinggal dan menetap di Eropa. Gimana caranya?”

“Oh kalau itu sih gampang. Jika kamu punya surat resmi ijin tinggal kerja, lalu punya registrasi dan bayar pajak, lalu punya penghasilan cukup, lalu punya tempat tinggal, bisa dengan mudah. Kamu punya semua itu?”

“Enggak om…”

“Oke, tidak usah semua. Satu saja deh. Punya ijin kerja”

“Nggak…”

“Bisa bahasa Inggris atau bahasa eropa lainnya?”

“Nggak…”

“Punya nomor registrasi pajak?”

“Nggak…”

“Punya penghasilan cukup?”

“Boro-boro penghasilan om, kerja aja ga punya…”

“Punya tempat tinggal”

“Nggak juga om. Boleh tinggal disini yaa?”

“Rumah saya kecil. Tidak ada kamar ekstra. Tapi andaipun ada dan bisa, kamu mau urunan bayar kontrak bulanan beserta listrik gas air dan sebagainya?”

“Yaa saya bayar pakai apa om? Kan saya ga punya uang sama sekali? Ga punya kerja?”

Ia datang ke Eropa. Dengan cita-cita dapat suami dan dapat kerja. Tentu tidak salah, siapa sih yang tidak ingin punya relasi yang baik dan dicintai ditambah gaji perbulan yang bisa mencukupi biaya umrah? Sayang sekali, cita-citanya kandas semua.

Ia datang membawa mimpi. Sebab mimpi-mimpi di daerah asalnya, Pantura sana, digerus oleh realita.

Saya diam lama. Membiarkannya melanglang malam dingin membeku di luar sana, adalah tragedi kemanusiaan. Tapi membiarkannya di rumah ini berlarut-larut, juga tidak bijaksana. Saya tidak kenal ia siapa dan apa tujuannya.

Saya membuka mulut, “Kamu saya lihat anak yang cerdas. Tapi cara kamu menyampaikan sesuatu masih bisa diperbaiki. Mau memperbaikinya?”

Matanya membulat senang, “Iya mau om!”

“Kamu bilang kamu bisa baca tulis. Saya ada buku, judulnya Pohon Pohon Sesawi. Kamu saya beri waktu tiga malam untuk membaca buku ini. Kalimat yang kamu tidak mengerti catat dan lalu cari artinya di internet. Tiga malam lagi, sebelum kamu besoknya pergi, kita diskusi mengenai buku ini. Ini ada nomor ketua serikat buruh migran, kamu kontak dia. Dalam tiga hari, saya mau tahu apakah kamu sudah bertanya kepada dia bagaimana cara bertahan hidup disini. Bagaimana? Kamu mau?”

“Mau om! Mau! Trus bagaimana om?”

“Loh kamu nggak denger tadi saya ngomong apa?”

“Denger, tapi…”

“Oke, sekarang saya yang gantian tanya, apa yang kamu mengerti dan tidak mengerti?”

“Saya harus baca buku. Tiga malam lagi diskusi. Saya harus kontak Pak Barkah ketua buruh migran tanya-tanya ke dia.”

“Yup benar sekali.”

“Jadi saya boleh tinggal disini tiga malam, Om.”

“Asal kamu baca buku itu dan kontak Pak Barkah untuk menambah dan memperbaiki informasi yang kamu miliki, iya, boleh.”

Mukanya senang sekali.

Pagi tadi hujan deras. Saya menuju tempat kerja mengayuh sepeda. Dengan jaket tebal dibungkus jas hujan dari atas hingga bawah, saya mengayuh dalam gelap dan dingin.

Teringat cerita pendek “Salib Ringan Dari Gabus” di buku Pohon-Pohon Sesawi yang menceritakan betapa Suster Agnes sangat ingin mengangkat anak-anak terlantar dan memelihara mereka.

Semoga si perempuan muda berusia 24 tahun itu mengerti. Betapa saya sangat berbeda dengan si Suster berjiwa Maria di buku Pohon-pohon Sesawi.

Buat saya, anak-anak terlantar seharusnya dipelihara oleh negara sesuai pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Bukan dipupuk dengan makan gratis hingga besar tanpa diberi pendidikan yang layak. Lalu ketika lulus sekolah, ditelantarkan seperti pengangguran-pengangguran pantai Pantura yang berjuang mati-matian sebagai generasi sandwich ditekan atas bawah, membiayai keluarga mereka sebagai buruh migran yang terlunta-lunta.

Buat saya, semua orang sebaiknya sudah harus belajar cara membesarkan dan mengasuh anak sebelum memutuskan untuk meninggalkan jejak sperma ke rahim yang dibuahinya.

———-

Pohon‑Pohon Sesawi karya Y. B. Mangunwijaya menceritakan refleksi pribadi sang penulis tentang pengalamannya sebagai imam Katolik, dengan romantika, konflik batin dan pergulatan spiritualnya, disampaikan lewat cerita-cerita ringan, jenaka, dan penuh sindiran khas beliau.