Naskah sebelum edit, dari tulisan “Marni dan OTT KPK” yang ada di buku AKU KPK

“Kukuruyuuuk… Kukuruyuuuk saat ayam jago berkokok, toa mushola di dekat tempat tinggal kamipun ikut bersuara “Bangun… bangun… bangun… waktu menunjukan pukul Tiga pagi, sholat subuh satu setengah jam lagi. Asholah… Asholah… Asholatu khoirum Minan Naum..”.

Pukul 03.00 pagi, adalah saatnya aku harus segera singkirkan selimutku. Beruntung, di daerahku masih banyak ayam berkokok di pagi hari, juga marbot musholla dan masjid yang tak bosan-bosannya membangunkan warga sekitar dengan toanya. Sehingga, aku tidak perlu menggunakan alarm di handphone seperti yang biasa dipakai orang-orang modern, untuk bangun dari tidur.

Selepas mandi, kunyalakan kompor memasak air, sambil kutinggal untuk Tahajjud. Setelah tahajud selesai, Begitu masakan sudah siap, ku bangunkan seluruh anggota keluargaku untuk sholat subuh berjamaah dilanjutkan dengan sarapan.

Marni namaku, usiaku 35, aku menikah di usia yang masih terbilang belia, 18 tahun. Suamiku seorang pejabat eselon II di salah satu Unit Pelayanan Teknis (UPT) di Daerah kami. Selain aku dan suamiku, dirumah kami ada 2 anggota keluarga lainnya, yaitu kedua anak kami. Yang pertama anak perempuan kami yang saat ini sudah SMA, dan Satunya lagi, laki-laki, masih kelas 2 SD. Jarak usia mereka berdua memang sangat jauh, karena aku sempat mengalami gangguan dalam kesehatan reproduksiku selang berapa lama setelah kelahiran anak pertamaku, sehingga dokter tidak memperbolehkan aku hamil anak kedua dulu sampai semua masalah reproduksiku terselesaikan.

Si sulung kami ini masih sangat manja, mungkin karena dia sempat lama menjadi anak tunggal. Jadi bangun tidur dia hanya wudhu, sholat dan tidur lagi, Ketika sudah tinggal setengah jam lagi bel sekolahnya berbunyi, dia baru bangun lagi. Ajaibnya, dalam waktu 30 menit, dia kerjakan semua aktivitas diantaranya mandi, pakai seragam, sarapan dan berangkat ke sekolah dengan setengah berlari, sambil di mulutnya penuh berisi roti dia salim dan berpesan pada ayahnya yang sedang menikmati sarapan di meja makan “Yah jangan lupa, nanti pulang cepet ya, aku mau cerita tentang anak baru di kelasku lucu deh”. kemudian menghambur secepat kilat setalah ayahnya menjawab “Ya…. hati-hati ya.. ” kebetulan jarak ke sekolahnya tidak begitu jauh dari rumah kami.

Setelah suami dan putriku berangkat, bagianku mengantar si Bungsu berangkat ke sekolahnya naik angkot dan memastikannya sampai ke depan pintu gerbang sekolah bertemu guru piket hari itu. Kemudian aku tinggal, bergegas pulang ke rumah untuk membersikan rumah, merapikan barang-barang, mencuci, menyetrika dan menyiram tanaman-tanaman kami. Begitu ritme setiap hari yang kami lakukan.

Aku senang ketika bisa menyajikan untuk suami dan anak-anaku makanan sehat buatanku, menyediakan pakaian bersih dan rapi untuk mereka, menyiapkan segala kebutuhan mereka dan kebahagiaanku adalah ketika dapat memastikan mereka semua sehat dan bahagia, bonusnya kadang ucapan terimakasih dan pujian dari mereka seperti yang biasa diucapkan suamiku selepas sarapan bersama “Terimakasih ya Bun, masakannya enak, kamu memang istri yang hebat”. Saat dipuji begitu, biasanya aku menyembunyikan pipiku yang memerah akibat tersipu malu.

Momen Kebersamaan Kami

Hidup kami penuh rasa syukur, meski saat itu pangkat suamiku hanya sebagai Lurah dengan penghasilan tunggal yang tidak besar, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bisa berbagi dengan yang membutuhkan dan bahkan untuk liburan keluarga walau hanya ke taman, mengunjungi museum, atau ke tempat wisata terdekat sebulan sekali.

Momen pergi liburan bersama adalah saat yang paling ditunggu anak bungsu kami, karena dia senang bereksplorasi dengan tempat-tempat baru dan berikutnya akan ia ceritakan ke teman-teman sekolahnya. Sekali waktu, kami hendak mengunjungi Museum Bung Karno di Blitar. Selama perjalanan didalam mobil, suamiku menceritakan siapa Itu Bung Karno dan bagaimana upayanya untuk memerdekakan Indonesia dan ideologi apa saja yang beliau pesankan untuk Indonesia, diantaranya “Jas Merah”.

Kami semua menyimak, dan yang paling antusias adalah si bungsu, dia sampai menjulurkan kepalanya mendekat ke arah suara ayahnya, sepertinya tidak rela kalau ada Satu kata saja yang terlewat untuk dia dengarkan. Ayahnya mulai bercerita “Bung Karno itu disebutnya Bapak proklamasi de.. bersama teman seperjuangannya—Bung Hatta, beliau berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Salah satu pesannya yang paling terkenal adalah “Jasmerah”, Jangan sampai…” belum selesai suamiku meneruskan kalimatnya, sudah langsung di potong oleh putra bungsu kami yang duduk persis dibelakang Jok ayahnya “Ayah.. ayah.. ayah.. tapikan aku punyanya jas hitam, yang biasa aku pake buat kondangan, yang samaan sama Ayah, gimana dong yah…?” katanya sambil mengguncang2 pundak ayahnya yang sedang menyetir.

Mendengar sanggahannya yang begitu serius, sontak kami semua tertawa “Hahaha… Ade.. ade.. Ayah ngomongnya belum selesai de.. yang ayah maksud dengan jas merah itu singkatan dari Jangan Sampai Melupakan Sejarah”. Kata kakaknya menyambungkan.

Berbeda dengan adiknya, Putri sulungku mempunya kebiasaan yang tidak umum, layaknya remaja putri lainnya. Sejak kecil, dia senang curhat kepada ayahnya, bukan kepada Ibunya. Mungkin karena ayahnya kerap membacakan dongeng semasa dia kanak-kanak dan dia sempat menjadi anak semata wayang, yang hampir semua keinginannya dipenuhi oleh Ayahnya. Kepercayaannya sangat tinggi terhadap ayahnya, jadi agak sensi kalau ayahnya mulai tidak perhatian padanya.

Yang mengherankan, Ayahnya juga selalu mampu mengimbangi curhatan putriku, apa saja dia ceritakan kepada ayahnya, mulai dari teman-teman mainnya, guru sekolahnya, pelajaran, sampai soal cowo-cowo yang katanya naksir padanya. Mungkin karena pengalaman ayahnya sangat luas, pandai bergaul dan lulusan sarjana, sedangkan aku hanya lulusan pesantren yang belum pernah mengenyam sekolah umum. Putri kami ini juga sangat aktif di organisasi, selalu ceria dan banyak disukai teman-temannya. “Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya” gumamku dalam hati dengan penuh rasa kagum pada mereka berdua—putriku dan ayahnya.

Kalau momen kebersamaanku dengan suamiku adalah di meja makan. Sembari sarapan ataupun makan malam, kami biasa bertukar informasi dan cerita yang sama-sama kami alami ketika tidak sedang bersama. Aku sangat menyukai moment ini, karena biasanya, hal-hal yang bersifat sosialis bisa aku sampaikan disini, dan respon suamiku pasti positif. Misalkan ketika aku minta ijin untuk menyumbang ke Madrasah yang membutuhkan, katanya “Silakan Bun, pakai saja uangnya. Ayah percaya Bunda mampu menggunakannya dengan bijak, InsyaAllah rezekimah ada aja, Allah yang ngatur”.

Sifat Qona’ah (Rela menerima dan selalu merasa cukup dengan hasil yang ada) suamiku ini yang membuatku merasa beruntung memilikinya. Mengajarkan kami untuk selalu berbagi dan bersikap rendah hati. Sehingga Bapak dan Ibuku yang guru ngaji itu mempercayakan anaknya padanya. Dan karena kepercayaannya itupun, aku tidak berani menyelewengkan uangnya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Dipercayakan Amanah baru

Inilah moment awal yang membawa perubahan besar pada sikap suamiku yang berimbas pada keluarga kami. Saat itu, suamiku diminta untuk menjadi relawan salah satu pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati di daerah kami. Dari Dua pasangan yang ada, menurut suamiku, Pasangan ini yang lebih baik. Karena calon bupati dan wakil bupati ini backgroundnya pengusaha, pasti tidak korupsi, katanya darisananya sudah kaya. Suamiku setuju untuk membantu, dengan tujuan untuk memajukan daerah kami. Aku tahu suamiku bukan orang yang rakus akan harta.

Mulai dari menggerakan masa untuk kampanye, memasang spanduk, dan baliho bahkan menyumbang dana untuk konsumsi kegiatan para pendukung dilakukan suamiku dengan sukarela, tanpa memperoleh bayaran sedikitpun, dia tulus dan murni dalam berjuang. Sehingga pasangan calon Bupati dan wakil Bupati ini sangat menyukainya.

Dan agak diluar dugaan, karena lawannya ini incumbent, Alhamdulillahnya pasangan yg dia usung menang. Dan sebagai bentuk apresiasi atas kerja kerasnya, Bupati dan Wabup terpilih ini menghadiahkan sebuah jabatan strategis pada suamiku, yaitu sebagai Direktur salah satu UPT di daerah kami. Dan jabatan lurahnya pun ia lepaskan. Sebagian warga desa kami sedih karena ditinggalkan lurahnya yang amanah, sebagian lagi merasa senang karena dari desa kami ada yang jadi pejabat.

Dari jabatan itu, berbagai fasilitas dia peroleh dari mulai penghasilan besar, berbagai tunjangan sampai mobil dinas. Mobil kijang lama kami yang tak ber AC pun dia tukar tambah dengan mobil merk terkenal yang lebih gagah, katanya untuk memudahkan mobilitas, karena mobil lama kami suka mogok kalau dipakai berkendara jauh. Dan tak tanggung-tanggung rumah kamipun saat ini sedang dibangun 3 kali lipat lebih besar dari sebelumnya, karena katanya akan banyak menerima tamu.

Rupanya, hadiah jabatan itu nggak gratis. Karena setelah menerima jabatan tersebut, suamiku jadi berubah, dia terlihat penuh tekanan. Ketika kusarankan untuk mundur, dia menolak karena di posisi tersebut banyak kewenangan yang dapat ia lakukan. Katanya lebih banyak manfaat yang bisa ia sebarkan dan pastinya, lebih banyak lagi orang yang menghormati dia dengan jabatannya yang sekarang.

Sempat dia berpesan kepadaku “Sekarang ayah akan lebih sering berada diluar ya bun, karena tanggung jawab ayah sekarang sangat besar terutama terhadap Bupati dan Wabup yang sudah membantu ayah, bunda bersabar dulu sampai kondisi stabil. jika sudah stabil, kondisinya juga akan sama seperti sebelumnya”. Tapi kondisi yang dijanjikannya itu tak kunjung terealisasi. Malah makin hari makin sibuk.

Aku bingung dengan sikapnya, setahuku, dia orang yang Qonaah, tidak pernah mengejar harta. Tapi memang ada satu kelemahannya, dia sangat menyukai jabatan (Tahta) dan sepertinya, ini yang dimanfaatkan oleh Bossnya yang Kepala Daerah itu. Sering diwaktu kerja atau istirahatnya tiba-tiba dipanggil ke rumah dinas untuk urusan yang entah apa aku tidak pernah tahu.

Sejauh pengetahuanku juga, Bossnya suamiku ini orangnya baik, suka membantu masjid, panti asuhan, membuat kegiatan yang positif dan selalu tersenyum pada orang-orang. Memang ada selentingan yang aku dengar katanya, Dia suka gampang mencopot dan memutasi jabatan PNS-PNS kabupaten ketika tidak loyal padanya. Ketika aku tanyakan itu pada suamiku, suamiku jawabnya dengan nada tinggi “Kamu jangan selalu mendengarkan gosip dari orang-orang yang iri, itu tidak benar”. Tak ada informasi yang aku peroleh, hanya bentakan yang membuatku sedih dan aku memutuskan untuk tidak lagi bertanya tentang itu.

Tiga Tahun Yang Melelahkan

Ada pepatah mengatakan, besarnya penghasilan berbanding lurus dengan meningkatnya kesibukan. Entahlah ini pepatah benar apa tidak, tapi yang jelas, itulah yg kami rasakan. Suamiku hampir tak ada waktu untuk keluarga, Senin sampai Jumat ia kerja hingga larut malam. Begitu sampai rumah, tidak langsung bercengkrama dengan keluarga, melainkan berlama-lama diteras rumah, ditangannya ada gadget, laptop, dan sambil menghisap rokoknya.

Ketika aku memintanya untuk segera beristirahat karena sudah larut malam, selalu jawabannya ” Iya bentar lagi Bun, sedang koordinasi pekerjaan, ini belum selesai”. Seperti biasa, aku hanya bisa pasrah dan mencoba khusnudzon dengan jawabannya, karena aku tak paham teknologi. Meski dalam hati ada rasa curiga.

Disatu malam, pukul 22.00 WIB dikamar putriku, “Hoam… Ayah pulang jam berapa hari ini Bun?”. Tanyanya sambil menguap kelelahan, setelah cukup lama belajar sambil menunggu ayahnya pulang untuk dibagikan cerita hariannya. “Bunda belum tahu Kak, sekarang ayah suka marah kalau bunda tanya rencana pulang jam berapa”. Aku sangat sedih harus menjawab pertanyaannya dengan kalimat seperti itu.

Daftar Tulisan dalam buku AKU KPK, Tulisan ini ada di nomor 28

Dia pasti sangat ingin ayahnya cepat pulang, sehingga buru-buru aku menambahkan. “Kakak mau cerita ya sama ayah, ceritanya sama bunda saja kak, pasti bunda dengarkan.” Bujukku dengan tersenyum optimis, kepala mengangguk dan mata berbinar penuh harap. “Nggak ah bun, pengalaman bunda kan sedikit, bunda pasti ga ngerti masalah yang seperti ini” sahutnya sembari menghambur ke tempat tidur. “Oh ya sudah… Kakak jangan lupa baca doa sebelum tidur ya sayang..”. jawabku sambil berusaha iklas menerima kondisi ini. Hampir setiap hari pertanyaan serupa dilontarkan putriku, jawabanku variatif tapi intinya tetap sama—ayah yang didambakannya tidak bisa pulang cepat seperti dulu lagi.

Imbasnya, Putri kami yang tadinya setiap malam selalu dirumah, sekarang kerap pulang larut malam, main bersama teman-temannya. Prestasi akademiknya anjlok, apalagi kegiatan mengajinya, sudah lama ia tinggalkan. Aku sedih karena belum menemukan cara untuk menggantikan peran ayahnya dalam menyimak cerita-ceritanya. Kenakalannya ini mungkin adalah bentuk mencari perhatian ayahnya, pelampiasan atas tumpukan kekecewaannya. Batinku menangis “Seandainya dulu aku sekolah tinggi, pasti putriku mau bercerita apapun kepadaku”.

Tak hanya sisulung yang menunjukan komplennya. Putra bungsu kamipun, sering merengek bertanya “Bunda… Kapan kita jalan-jalan lagi bunda…? aku udah lama ga jalan-jalan… temen-temen aku sering cerita habis kesini kesini kesini, aku gak punya cerita baru…”. katanya, sambil manyun. Sama halnya dengan jawabanku kepada kakaknya, meskipun berbeda modelnya, tapi intinya sama. “Nanti ya nak, kalau bunda sudah belajar setir mobil, kita jalan-jalan lagi sama bunda, sama Kakak” jawabku mencoba menenangkannya. Dirumah kami ada 1 mobil nganggur, tapi aku tak bisa menggunakannya, karena belum sempat kursus setir mobil.

Aku masih berharap suamiku ingat dengan janjinya dulu, kalau sudah bisa kebeli mobil yang baru, dia akan mengajariku menyetir. “Bantu doakan ya Bun, supaya rezeki ayah banyak, bisa ganti mobil baru, nanti kalau sudah bisa kebeli, Bunda tak ajarin nyetir, biar kalo antar dan jemput Ade sekolah bisa pake mobil sendiri, ga pake angkot lagi. Kalau pakai mobil yang ini kasian, mobilnya sudah sangat tua, nanti kalo mogok bingung”. ujarnya dulu saat si ade masih TK nol kecil.

Setiap Doa Pasti Dikabulkan, Cara dan Waktunya Tuhan Yang Tentukan

Aaah… rasanya ingin menjerit, dan berlari keluar, pergi jauh meninggalkan rumah itu, tapi tak mungkin kulakukan, karena aku harus menjaga kondisi keluargaku tetap stabil seperti pesan Ibuku semasa hidupnya dulu, “Nduk.. kowe kudhu iso njaga keluargamu seko’ api neraka, anak-anakmu dididik sing bener, bojomu di urusi, dadiyo istri sholehah, nek ora GustiAllah iso nesu karo kowe”. Insya Allah pesan Ibu akan tetap aku jaga Bu.. sampai kapanpun.

Lelah karena seperti mengurus keluarga sendirian. Bosan ketika harus setiap hari berinteraksi dengan tukang-tukang yang sedang membangun rumah mewah kami. Apalah arti rumah mewah, mobil, uang banyak, jika rumah rasanya seperti neraka. Untuk sebuah kesalahan kecil yg kulakukan saja, suamiku bisa marah sangat besar. Makam orang tua kami pun sudah jarang sekali kami ziarahi. Tuhan.. kuhanya bisa menumpahkan segala keluh kesah dan air mataku padaMu. Setiap malam selepas tahajjud, aku selalu berdoa semoga suamiku selalu ditunjukan ke jalan yang lurus, dijauhkan dari segala godaan syetan, dan dikembalikan sebagai imam terbaik untuk keluarga kami.

OTT Kpk, Jawaban Terbaik Dari Tuhan Untuk Keluarga Kami

Sore itu, suamiku baru pulang dari diklat, yang dia ikuti selama Seminggu diluar kota. Tidak seperti biasanya, suamiku melarangku membongkar koper isi pakaiannya. Seperti ada yang dirahasiakan. Padahal biasanya kalau darimana-mana, akulah yang merapikan pakaian-pakainnya. Dia juga tampak gugup dan terburu-buru, katanya sudah ditunggu bossnya, tidak lama. Setelah membongkar kopernya dan meletakan pakaian-pakaiannya, dia bergegas keluar lagi, naik mobil sambil bawa tas ransel yang membumbung, yang entah apa isinya. Tanpa bercengkerama sebentar saja dengan kami yang sudah berhari-hari merindukannya.

Sampai larut malam aku tunggu, dia belum pulang. Di telepon pun nomornya tidak aktif. Perasaanku tidak enak, aku tidak bisa tidur. Aku tidak tahu harus menelepon siapa, tak ada nomor kontak teman-teman suamiku di hp jadulku ini. Aku coba telpon ke tempat kerjanya, sudah tidak ada yang mengangkat, karena kondisinya sudah hampir jam 2 pagi. Aku mencoba tadarus, untuk menghilangkan kegelisahanku. Tiba-tiba handphoneku berdering, rupanya ada telpon dari Haji Kardi, kepala desa sebelah, rekan suamiku dulu semasa menjadi lurah, begitu aku angkat, tanpa Assalamuaikum, Pak Haji Kardi langsung memberondongku dengan kalimatnya

“Mbak, Pak’e kena OTT KPK tha Mba? aku mau nonton nang breaking news. Perkara opo tho mba, ko iso koyo ngono…?”. “Astaghfirullahaladzim…Astaghfirullahaladzim…Astaghfirullahaladzim…” tak sanggup ku menjawab apa-apa, hanya kalimat istighfar yang terus terucap. Aku juga tak tahu Haji Kardi ngomong apa lagi setelah itu, kakiku lemas, badanku melorot ke lantai dan air mata terus berurai.

OTT KPK.. adegan heroik yang sering aku tonton di TV, KPK yang sering aku merasa kagum atas keberaniannya menangkap para koruptor. Dan kini suamiku sendiri yang ditangkap dan dipakaikan rompi orange. “Ya Allah.. tak sanggup aku membayangkannya.”

Otaku tak mampu berpikir, aku hanya bisa menangis dan kupaksakan sholat tahajud sebelum adzan subuh berkumandang. Toa musholla dan suara kokok ayam jago pun rasanya bungkam pagi itu. Ku adukan kekecewaanku pada Tuhanku, aku ceritakan segalanya padaNya, aku pertanyakan segalanya padaNya.. dan tiba- tiba secara tak disadari, kalimat itu muncul. Innama’al Usri Yusro (Al Inshiroh ayat 6): Didalam kesusahan pasti ada kemudahan.

“Oh… Jangan-jangan, ini jawaban Tuhan atas doaku selama ini“. Ya, aku sangat percaya setiap Doa pasti dikabulkan, hanya cara dan waktunya Tuhanlah Yang menentukan. Setelah menyadari hal itu, aku langsung sholat taubat. Air mata aku hapus, dan aku bersiap mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiranku.

Aku menyalakan TV dan berasabar membaca running teks yang menyajikan beberapa tema. Dan Benar… ada nama suamiku yang ditangkap KPK, saat menyerahkan tas ransel bersi uang ratusan juta rupiah kepada ajudan Bupati. bersamanya juga ditangkap ajudan dan juga Bupatinya. Aku segera menghubungi temannya yang sesama relawan dulu, dan sekarang dihadiahi jabatan kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), darinya banyak informasi yang aku terima. Aku diberitahu, kalau suamiku tertangkap KPK karena menjadi perantara penyuapan proyek yang dananya bersumber dari pengusaha pemenang tender yang kemudian disetorkan ke Bossnya yang kepala daerah itu. Aku juga minta beberapa nomor kontak yang aku perlukan untuk pencarian informasi. Salah satunya nomor HP rekan suamiku dulu yang di turunkan dari jabatannya.

Darinya aku peroleh informasi bahwa Bupati itu memang sangat Dzolim. Dia melakukan banyak kecurangan dan meminta prosentase setoran dari setiap proyek yang di kerjakan di daerah kami, untuk persiapan dia maju dalam pilkada berikutnya. Dan Suamiku ini salah satu kurirnya, berbeda dengan rekannya yang menolak. Tapi di media Bupati tampil sangat santun, rendah hati dan mengayomi. Kabupaten kami juga beberapa kali mendapat penghargaan Adipura. Aku heran kenapa bisa serapi itu mereka menyembunyikannya.

Aku teringat dengan surat Ali Imron ayat 54 yang bunyinya:

Wamakaru Wamakarallah Wallahu Khoirul Makirin. Artinya: Dan mereka (Bupati dan krooni-kroninya) membuat tipu daya (Membuat strategi yang rapi dalam korupsi dan melakukan pencitraan). Maka Allahpun membalas tipu daya. Dan Allah Sebaik-baik Pembalas Tipu Daya (Menunjukan kekuasaanNya diatas kekuasaan Bupati, melalui OTT KPK).

OTT itu membukakan segalanya, pelan-pelan kebohongan-kebohongan suamikupun terbongkar. Dan kecurigaanku terjawab. Hari-hari libur yang dia katanya ada kegiatan relawan ataupun bisnis bersama Bossnya ternyata hanya fiktif, belakangan aku tahu dari rekan sesama relawan yang akhirnya buka suara kalau selama ini weekend dia pergi dengan Wanita Idaman Lain(WIL)nya. Setiap malam yang dia bilang kordinasi kerjaan, ternyata pacaran via telepon dengan WILnya. Setiap ada kegiatan kantor atau kegiatan partai keluar kota, aku tak penah diajak karena disana dia akan bertemu dan menginap bersama WILnya.

Mungkin bagi sebagian besar orang, ditangkapnya suamiku adalah bencana, tapi bagi kami (istri dan anak-anaknya) adalah rezeki. Akhirnya suami dan ayah kami kembali jadi milik kami. Allah menyelamatkannya dari siksa api neraka dengan membuatnya dipenjara saat ini. Diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki perbuatannya.

Meski jarak kami saat ini terbilang jauh dan terpisah oleh jeruji tahanan, tapi hati kami kembali bersama, kepercayaan kami kembali tumbuh. Sebulan sekali kami selalu bisa bersama walau hanya dirutan KPK. Dan aku lebih percaya diri menjaga anak-anak kami meski tanpanya. Kareka aku yakin Allah pasti sudah menyediakan solusinya.

Filosofi Tiga Ta (Harta, Tahta, dan Wanita)

Disetiap Perjalanan Pasti ada Pelajaran. Kisah marni diatas hanyalah fiktif belaka, yang inspirasinya dikombinasi dari beberapa kisah istri koruptor, jika ada nama atau alur yang mirip, itu hanya sebuah kebetulan. Kisah ini dibuat dengan tujuan untuk menggambarkan bahwa 3TA (Tahta-Harta-Wanita) itu saling berkaitan. Ibarat kunci yang bermata Tiga, jika satu kunci itu dipakai, maka 2 lainnya pun akan terpakai.

Harta, Tahta Wanita, Istilah yang sudah lama sekali kita sering dengar. Bahkan ada “Roman Tiga Kerajaan” atau lebih dikenal dengan nama “Sam Kok”, karya sastra besar dalam peradaban Tiongkok yang dikarang oleh Lu Guan Zhong pada abad ke-13, didalamnya menceritakan salah satunya filosofi ini. Beberapa falsafah hidup dalam karya sastra tersebut diekspresikan dalam bentuk susunan kata-kata bijak yang mengandung petuah-petuah abadi sepanjang zaman. Diantaranya “Seorang jenderal mampu mengalahkan Seribu musuh, namun dia tidak mampu mengalahkan dirinya sendiri” artinya: seorang pemimpin sering kali terjerumus oleh sifat dirinya sendiri yang diliputi ambisi akan harta, tahta, dan wanita.

Ada pepatah “Dibalik kesuksesan seorang laki-laki, ada wanita yang mendukung dibelakangnya.” Pepatah itu bisa juga diputar, “Dibalik kehancuran seorang laki-laki, ada wanita yang menyebabkannya.” Mengapa bisa begitu?

Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada suami Marni diatas. Suami Marni, awalnya hanya mencari jabatan (Tahta), dari seorang lurah, kemudian dia berhasil naik naik sampai menjadi salah satu petinggi perusahaan umum daerah. Harta melimpah yang diperolehnya rupanya harta haram hasil setoran proyek, Karena sifat uang itu panas, sehingga peruntukannya pun tidak ke jalan halal, sebagian besar dia gunakan itu untuk kesenangan duniawi, termasuk “membeli wanita”.

Pesan moral yang dapat kita ambil, jangan pernah takut pada OTT KPK, tapi takutlah pada Tuhan yang selalu mengawasi kita. Dan jangan pernah rakus terhadap salah satu dari 3Ta, karena nantinya akan dapat bonus keduanya. Hehehe….

KPK, 2017